Kalau ngomongin kiper legendaris, apalagi buat fans Manchester United, lo nggak bisa nggak nyebut nama Edwin van der Sar. Sosok jangkung, tenang, dan elegan di bawah mistar ini adalah salah satu penjaga gawang paling underrated tapi ultra-klasik yang pernah ada. Nggak banyak gaya, nggak cari spotlight, tapi kehadirannya bener-bener ngubah jalannya pertandingan.
Dan yang lebih gila, karier terbaiknya justru dimulai saat banyak orang udah anggap dia ‘tua’. Tapi bukannya turun performa, Van der Sar malah ngegas dan bantu MU masuk era emas baru. Gokil? Gak usah ditanya.

Awal Mula: Lulusan “Pabrik Penjaga Gawang” Belanda
Edwin van der Sar lahir di Voorhout, Belanda. Seperti banyak pemain asal Negeri Kincir Angin lainnya, dia besar di sistem sepak bola yang sangat terstruktur. Tapi dari awal, dia udah beda—punya postur 197 cm, tapi bukan tipe kiper yang cuma ngandelin badan doang.
Dia mulai dikenal luas waktu gabung Ajax Amsterdam. Di sinilah kariernya benar-benar mulai bersinar. Bareng generasi emas Ajax tahun ‘90-an—yang isinya anak-anak muda kayak Kluivert, Seedorf, Davids, dan Overmars—Van der Sar berdiri tegak di bawah mistar dan bantu Ajax menjuarai Liga Champions 1995.
Yang bikin dia standout? Bukan cuma reflek atau ukuran badannya. Tapi distribusinya. Van der Sar itu udah kayak sweeper-keeper jauh sebelum itu jadi tren. Umpannya bisa sejauh gelandang tengah, dan dia tenang banget kayak lagi main bola di taman.
Juventus: Karier Gak Mulus di Italia
Tahun 1999, dia pindah ke Juventus, dan jadi kiper asing pertama yang dipercaya jadi nomor satu di klub itu. Tapi masa-masa di Serie A bukan masa emasnya. Gaya bertahan Italia yang konservatif kadang bentrok sama gaya main progresif ala Van der Sar.
Setelah dua musim, dia akhirnya digeser Buffon—yang waktu itu jadi kiper termahal dunia. Banyak yang kira karier Van der Sar bakal mulai turun. Tapi ternyata… belum waktunya pensiun.
Fulham: Jalan Tikus Menuju Panggung Besar
Tahun 2001, Van der Sar bikin keputusan mengejutkan: gabung Fulham. Yes, klub medioker Premier League yang saat itu baru promosi. Banyak yang mikir ini downgrade. Tapi justru ini jadi batu loncatan menuju comeback legendaris.
Selama empat musim di Fulham, dia tampil stabil dan jadi kiper top meskipun main di tim yang sering kalah. Performanya konsisten, dan itulah yang bikin Sir Alex Ferguson ngelirik. MU lagi krisis kiper setelah era Peter Schmeichel—Bosnich, Barthez, Howard semuanya gak ada yang benar-benar cocok. Akhirnya, pada 2005, Van der Sar resmi gabung MU di usia… 34 tahun.
Manchester United: Comeback King di Bawah Mistar
Bayangin, lo masuk MU di usia yang buat kebanyakan pemain itu udah tahap akhir karier. Tapi Van der Sar? Malah masuk prime 2.0. Dia jadi kunci utama dalam skuad yang dibangun Fergie buat ngejar dominasi Eropa.
Dia bawa ketenangan yang udah lama hilang dari lini belakang MU. Kerjasamanya sama bek kayak Vidic, Ferdinand, dan Evra bikin MU punya pertahanan sekuat tembok. Nggak cuma soal save, tapi distribusi Van der Sar juga jadi senjata rahasia—serangan sering dimulai dari kaki dia.
Dan tentu aja, momen yang gak akan pernah dilupain fans MU: final Liga Champions 2008 di Moskow. Hujan, adu penalti lawan Chelsea, dan siapa yang jadi pahlawan? Van der Sar, yang tepis penalti Anelka dan bawa MU angkat trofi. Momen itu fix masuk daftar “chills every time” buat fans bola sejagat.
Dia juga sempat cetak rekor clean sheet terpanjang di Premier League: 1.311 menit tanpa kebobolan. Itu bukan karena keberuntungan. Itu karena dia literally bikin lawan frustrasi: tendangan ditangkep, crossing diambil, dan ekspresi wajahnya? Tetap datar. Boss-level.
Timnas Belanda: Konsisten, Tapi Gak Dikasih Trofi
Di level internasional, Van der Sar punya karier panjang bareng Belanda. Dia main di 5 turnamen besar dan sempat jadi kapten. Tapi sayangnya, kayak banyak pemain Belanda era 90-an dan 2000-an, dia gak pernah dapet gelar internasional.
Tapi performanya tetap world class. Dia bahkan sempat dipanggil kembali dari pensiun buat bantu Belanda di kualifikasi Euro 2008. Lo tahu lo pemain top saat negara lo minta lo comeback saat keadaan genting.
Setelah Pensiun: Dari Lapangan ke Meja Direksi
Setelah pensiun tahun 2011, Van der Sar gak langsung jadi pundit kayak banyak mantan pemain. Dia malah balik ke Ajax, tapi kali ini bukan sebagai pemain—melainkan direktur marketing, lalu naik jadi CEO.
Dan hasilnya? Ajax bangkit. Akademi makin produktif, keuangan stabil, bahkan sempat sampai semifinal Liga Champions 2019. Van der Sar buktiin bahwa otaknya gak cuma jalan di lapangan, tapi juga di ruang rapat.
Dia akhirnya mundur dari posisi CEO di 2023 karena alasan pribadi, dan sempat alami masalah kesehatan serius. Tapi kabarnya sekarang dia sudah membaik. Dan satu hal jelas: kontribusinya buat sepak bola belum selesai.